Sabtu, 05 Januari 2013

Budidaya Katak Lembu

Di jagat maya, nama Hendro Setiawan (61) dikenal sebagai peternak katak lembu asal Desa Sumberejo, Kecamatan Kandat, Kabupaten Kediri. Namun begitu dilacak ke desanya, nama Hendro ternyata tak dikenal. Maklum saja dia memang dikenal sebagai Yasin, peternak katak lembu yang sukses.

Tak populernya nama Hendro menyulitkan pencarian rumah laki-laki itu. Padahal lokasinya di tepi jalan besar, jurusan Kediri – Blitar lewat RS Baptis. Bangunannya pun cukup besar, mirip ruko dengan pintu warna biru. “Ruko” tersebut memang jarang sekali dibuka, tamu atau pemiliknya biasa keluar masuk lewat pintu samping.

Begitu terus masuk ke belakang rumah, langsung terlihat kolam-kolam berbagai ukuran, lengkap dengan atapnya dan dari kejauhan terdengar katak mengorek (bersuara) nyaring. Ya, kolam-kolam itu adalah kolam pembudidayaan bullfrog, atau yang akrab disebut katak lembu karena suaranya seperti suara lembu.

Amphibi bernama Latin Rana catesbeiana dan diyakini berasal dari Afrika - beberapa sumber mengatakan berasal dari Sungai Mississippi dekat wilayah Kanada - itu sejatinya tak jauh beda dengan kodok ijo yang banyak ditemui di sawah di pedalaman Jawa, namun ukuran tubuhnya lebih besar. Bahkan, ukurannya bisa 2 kali lipat kodok ijo.

Kata Hendro alias Yasin, katak berukuran jumbo tapi tampak gesit di dalam kolam itu jumlahnya mencapai 10 ribuan, sebagian sudah siap dilempar ke pasar dan sebagian lain masih menunggu satu atau dua minggu lagi untuk dipanen. Katak yang siap dipasarkan, kata dia, rata-rata berusia 7-8 bulan.

Katak yang siap dipanen dan dipasarkan, kata pria yang memulai budidaya katak lembu sejak 2002 ini, rata-rata beratnya 2,5 ons atau berisi 4 ekor per kilogram. Harga di tingkat peternak, Rp 20 ribu per kilogram. “Kemudian saya menjual ke sejumlah restoran di Surabaya, satu kilogramnya seharga Rp 25 ribu,” kata Hendro yang juga bertindak sebagai pengepul katak lembu.

Dia lantas mengaku, memasok 14 restoran di Surabaya yang memesan katak satu minggu sekali. Pasokan katak itu bukan hanya dari peternakan Hendro saja tapi tapi juga dari peternak lain. Di Kediri sekarang ada 5 peternak, di Pare 2 peternak, serta beberapa lainnya yang tersebar di Blitar, Tulungagung, dan sekitarnya.

“Mereka ini rata-rata setor hasil panenan ke saya dan kemudian saya yang kirim ke Surabaya. Setiap pekanya kami rata-rata bisa mengirim enam kuintal. Kalau pas hari baik atau hari besar China, permintaan dapat melonjak dua kali lipat,” jelasnya.

Hendro melanjutkan, para peternak ini sudah menjalin kerjasama sejak lama. Awalnya, mereka belajar beternak katak lembu kepada dirinya sampai bisa. Dia pula yang memasok bibit (kecebong atau percil) untuk mereka dan mengepul hasil panenan mereka.

“Kalau panen tidak banyak, mereka merasa rugi kalau harus mengirim sendiri ke Surabaya. Ongkos kirim dan tenaga dinilai tidak nyucuk (malah tidak menghasilkan). Karena itu mereka lebih suka kirim ke saya, jarak tempuh angkutannya dekat, meski harga jualnya terpaut Rp 5 ribu (lebih murah),” tambahnya.

Ceruk pasar katak lembu di Surabaya, imbuh pria yang juga berprofesi sebagai pemborong bangunan ini masih cukup luas. Namun dia dan rekan-rekannya baru bisa melayani rata-rata 6 kuintal per pekan. Penyebabnya, hasil peternakan di Kota Kediri dan sekitarnya masih terbatas. “Untuk Surabaya saja kurang padahal permintaan dari kota-kota lain di luar Surabaya juga cukup banyak.”

Bagi Hendro, beternak katak lembu adalah pekerjaan gampang-gampang susah. Kuncinya, telaten dan sabar. Kalau beternak mulai dari kecebong (anak katak yang masih berekor), panennya 8 bulan kemudian. Tapi, kalau mulainya dari percil (anak katak yang tidak berekor), dalam waktu 7 bulan sudah bisa panen. “Malah, kalau percilnya sudah besar atau usia 2 bulan, bisa panen 6 bulan kemudian,” katanya.

Katak indukan, lanjutnya, sekali bertelur bisa mencapai 10 ribu - 20 ribu butir. Telur yang masih lembut itu kemudian dipindahkan ke kolam tersendiri. Setelah menjadi kecebong dan menjadi percil, dipindah ke kolam lain yang berair dangkal.

Meski usia telur sama namun setelah menjadi percil dan katak, besarnya tidak sama. Katak-katak itu harus dipisahkan, yang besar-besar dikumpulkan dalam satu kolam tersendiri, demikian pula yang kecil-kecil. Itu untuk mencegah kanibalisme, perilaku alami katak lembu.

Hendro mengaku, dia pernah berupaya menularkan ilmu beternak katak lembu ke tetangganya, di Desa Sumberejo. Ada 2 warga yang berminat. Mereka belajar darinya, mulai dari pembuatan kolam, saluran air, memelihara kecebong, percil, hingga katak dewasa. Bahkan masalah pakan dan obat-obatan juga diajarkan.

Semula, usaha katak lembu mereka berjalan lancar. Nah, begitu melihat peluang yang menggiurkan, 2 murid Hendro itu menjadi terburu nafsu. Mereka langsung membuat lahan yang lebih besar dan menanam bibit lebih banyak dengan harapan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. “Memang wajar, saya juga pernah seperti itu,” katanya.

Namun begitu katak terserang penyakit mata putih (semacam katarak) dan kaki merah, 2 murid Hendro itu pun kelabakan. Apalagi serangan penyakit itu cepat sekali menular bila tidak segera diketahui dan ditangani - dipisahkan antara katak sehat dengan yang sudah terserang penyakit. Akhirnya, ternak katak 2 murid Hendro itu ludes tak tersisa sehingga mereka rugi besar. “Sekarang mereka kapok, tidak berani lagi beternak katak lembu,” ungkap Hendro.

Hendro sendiri pernah tersandung masalah serupa. Pada 2004 dia mengalami puso (gagal panen). Saat itu ternak katak lembunya terserang penyakit hingga ribuan yang mati. Hendro merugi puluhan juta rupiah.

Meski demikian, dia masih sempat menyelamatkan sebagian kecil katak lembu yang sudah siap panen berkat gencarnya pengobatan. Begitu katak-katak dewasa itu sembuh, langsung terjual habis sehingga dia tidak memiliki katak yang siap panen.

Yang dia miliki hanya bibit katak lembu berupa kecebong, jumlahnya mencapai puluhan ribu ekor. Jelas butuh waktu cukup lama untuk bisa panen, paling tidak 8 bulan. Namun, dasar sudah menjadi rezekinya, tiba-tiba kawannya di Pare mengontaknya dan mengatakan butuh percil dalam jumlah banyak untuk memasok Dinas Perikanan Bali yang tengah menggelar program budiadya katak lembu.

Tanpa pikir panjang Hendro menyanggupi permintaan itu. Apalagi harga yang ditawarkan temannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga umum. “Dari percil itu saja saat itu, hasilnya bisa menyamai pendapatan panen raya,” kenang Hendro sambil tertawa.

Dia lantas mengungkapkan, kegagalan beternak katak lembu sering disebabkan karena kurang perhatian akan perliku kanibalisme itu. “Hama” lain yang juga banyak merugikan, imbuh Hendro, adalah kucing. “Satu kucing bisa memakan satu katak per hari, nah, kalau setiap hari kecolongan, hitung sendiri sebulan sudah rugi berapa,” terangnya.

Peristiwa gagal panen itu ternyata membawa hikmah tersendiri. Setelah punya pengalaman memasok bibit, kini Hendro jadi punya penghasilan sampingan dari menjual bibit katak lembu. Sekarang ini, harga seekor kecebong berumur satu bulan, Rp 100/ekor; percil usia 2-3 bulan harganya Rp 1.000/ekor.

Para peternak lain katak lembu yang sudah menjadi langganannya, rata-rata mengambil 1.000-3.000 ekor bibit. “Dari 1.000 ekor kecebong kalau bisa panen 300 ekor saja, sudah untung. Itu sudah dipotong biaya produksi. Apalagi kalau hidup semua,” pungkas Hendro.

Sumber :
http://biotani.blogspot.com/2011/08/budi-daya-katak-lembu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar