Seperti fesyen, ikan hias juga memiliki tren. Setiap tahun tren ikan hias akan berganti-ganti bergantung pada selera. Apa yang sedang digandrungi tahun ini belum tentu akan bertahan hingga tahun depan.
Ada banyak jenis yang biasa dicari penghobi ikan hias ini. Ada ikan hias live bearer, tetra, koki mutiara, koi, cupang, manfish, arwana, dan oscar.
Namun pilihan pada ikan ini semua bergantung pada tren yang ada. Tren tersebut, menurut Muhammad Zen, Ketua Klub Discus, Jakarta, dibuat oleh peternak ikan.
Sementara untuk ikan laut bergantung dari pasokan yang sedang ada. “Tren dibuat oleh peternak,” ujarnya. Menurutnya, pedagang tidak bisa menciptakan tren.
Kalau dibuat tren tapi ikannya tidak ada, menurutnya, maka tidak bisa menjadi tren. Dari tren ini, para penggemar kemudian berlomba untuk mencari motif, bentuk, dan warna apa dari tren tersebut yang sedang diminati.
Setiap tahun, tren ikan akan selalu berubah-ubah bergantung pada budidaya yang dihasilkan oleh para petani ikan dan juga para penangkap ikan.
Pedagang hanya mengekor apa yang dihasilkan para pembudidaya. Dulu, pada 2007, sempat merebak tren ikan lou han di pasaran. Namun kemudian bergeser ke ikan komet yang memiliki bentuk mini. Bentuk komet yang kecil membuat jenis ini diminati untuk menghiasi akuarium di rumah.
Menurut Hartono, 39 tahun, salah seorang penghobi ikan hias, krisis seperti tahun lalu membuat tren ikan hias berubah. Kalau dulu para penggemar ikan hias banyak berburu ikan yang mahal, para penggemar kemudian bergeser mencari ikan murah.
Komet merupakan salah satu jenis ikan yang banyak dicari karena berharga murah. Ikan ini dihargai 5.000 rupiah per ekornya.
Ikan ini juga memiliki keunggulan dari warna yang memiliki beberapa varian, seperti putih, merah, jingga, dan campuran antara warna-warna tersebut.
Namun demikian, menurut Zen, kalau salah satu jenis ikan sedang ngetren bukan berarti ikan lain tidak diminati.
Sebagai penggemar ikan hias jenis discus ia akan tetap setia memelihara ikan jenis ini. Bahkan, sampai sekarang ia hanya memiliki discus dan tidak tertarik untuk memelihara ikan jenis lain. Walau beberapa ikan berkembang mengikuti tren, ada juga jenis ikan yang tidak mengikuti kaidah ini.
Hartono mengatakan ikan cupang yang berharga murah itu ternyata tetap diminati orang sepanjang waktu.
Ikan yang biasa diadu ini harganya bahkan hanya seribu rupiah per ekor untuk yang biasa. Namun yang memiliki motif dan warna bagus dengan ukuran antara 3 – 5 sentimeter, dapat dihargai tinggi hingga mencapai 1 juta rupiah.
Untuk tahun 2010 ini berdasarkan polling yang dilakukan oleh para penggemar ikan hias lewat Internet, ada beberapa ikan hias yang akan banyak diminati.
Dalam urutan 5 besar, ikan tersebut adalah discus, arwana, catfish, pleco, dan fresh water stingray. Berbeda dengan ikan air tawar, ikan air laut trennya lebih stabil.
Pasalnya, tidak banyak yang memelihara ikan hias air laut karena harganya yang lebih mahal. Belum lagi cara perawatannya. Tidak heran, jenis ikan hias air tawarlah yang lebih banyak diminati oleh para penghobi.
Seperti yang dilakukan Wagiso (34) yang bermukim di Dusun Sukadamai Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin dirintisnya pada tahun 2005 lalu. Ia tengah membudidayakan ikan hias, mulai dari ikan Koi, ikan Koki serta Komet.
Pria yang akrab disapa dengan nama Giso ini awal merintis budidaya ikan hiasnya hanya bermodalkan Rp 9 juta. Modal sebesar itu ia pinjam dari orang tuanya untuk membeli benih ikan hiasnya serta membuat enam kolam dengan ukuran lebar 10 meter dan panjang 10 meter.
Ketika itu, pria yang beristrikan Tuti Handayani (33) itu masih menjadi peternak ikan hias. Ada sekitar 30 ribu ekor benih ikan hias dibelinya dari penangkar di sekitar kecamatan Beringin. Giso pun lalu membudidayakan ikan hiasnya untuk dijual kembali kepada agen ikan hias.Tak membutuhkan waktu lama untuk meraup untung. Hanya empat bulan saja, 30 ribu ekor ikan hias peliharaannya berkembang subur dan berhasil dipanen. Ikan hiasnya pun saat itu langsung laris diborong agen ikan hias.
Dari penjualan panen perdana itu, Giso pertama kali mendapat keuntungan bersih sekitar Rp 3 juta dari omset Rp12 juta karena Rp 9 juta adalah modalnya. “Omset pertama saya Rp 12 juta dari penjualan ikan hias, semuanya habis diborong agen ikan hias,” bilang bapak beranak dua ini.
Sebenarnya, kata Giso, saat pertama merintis budidaya ikan hias, biaya paling banyak dihabiskan untuk membuat enam petak kolam pembesaran serta biaya pemasangan jaring (untuk menghindari burung) serta biaya pakan ikan hias buatan pabrik. “Pembuatan kolam serta pemasangan jaring saya lakukan sendiri,” tambah Giso.
Setelah beberapa bulan menjadi peternak ikan hias, kemudian Giso beralih menjadi pembudidaya. “Menjadi peternak ikan benihnya tergantung kepada pembudidaya, sedangkan bila dilakukan sendiri akan mendapat keuntungan tersendiri,” bilang Giso yang pernah gagal menjadi petani padi ini.
Menjadi pembudidaya ikan hias bukan hanya semata mencari marjin keuntungan besar. Tetapi demi mendapatkan selalu benih ikan hias unggul. Sebab, benih dapat ditentukan sendiri.
Ternyata, budidaya ikan hias tak semudah membalikkan telapak tanggan. Berbagai tantangan mulai mencari kesulitan mencari induk berkulitas hingga menghadapi ikan predator dan membuat kolam pemijahan, harus dilakukan Wagiso sendiri.
“Saya belajar sendiri untuk membudidayakan ikan hias, untuk menambah pengetahuan tentang ikan hias. Saya belajar dari banyak buku tentang pembudidayan ikan,” bilangnya.
Lamban tapi pasti, kerja keras Wagiso membudidayakan ikan hias mulai terlihat. “Pertamakali ikan hias jenis Koi berhasil dibudidayakan, jumlahnya sekitar 5 ribu ekor,” sebutnya.
Bahkan pembudidayan ikan hias tidak terbatas ikan Koi, tetapi ikan Koki serta ikan Komet yang banyak diminati pasar lokal menjadi target budidayanya. Untuk pemasaran ikan hasil budidayanya, per ekor jenis Koi dengan ukuran 5-8 inci dibanderolnya Rp 5.000 - Rp 12.000. Ikan Koki dengan ukuran 5-8 inci yang sama dibanderol Rp 1.000 - Rp 10.000 dan jenis Komet dengan ukuran 5-8 inci dilepas dengan harga Rp 1.000 - Rp 10.000.
Dengan luas kolam sekitar 1 hektar di tiga tempat berbeda, kini Wagiso mampu meraup untung Rp 3 juta per bulannya. Untung itu untung bersih setelah diotong biaya pakan ikan dan biaya lainnya.
Tak Harapkan Pemkab dan Bank
Sulitnya memperoleh pinjaman dari bank maupun sulitnya mendapat perhatian dari pemerintah, tak membuat Wagiso harus ‘ngemis’ kepada Pemkab dan Bank.
Dengan bermodalkan nekad dan pinjaman uang dari keluarga, membuatnya memberanikan diri membuka usaha budidaya ikan hias. Padahal, di pertengahan jalan, berbagai kendala menghampiri usaha yang dirintisnya itu. Mulai kesulitan mencari benih, pakan sampai tehnologi. Tapi tantangan itu dihadapinya sendiri tanpa peminta bantuan orang lain, pemerintah maupun bank.
“Jujur, kadang saya iri dengan budidaya ikan ikan lele, mas, gurami. Sebab, pembinaan serta bantuan benih serta modal kerja terhadap budidaya tersebut selalu terbuka. Berbeda dengan budidaya ikan hisa,” kesalnya.
Padahal, kata Wagiso, di beberapa daerah di pulau jawa para penangkar serta peternak ikan hias mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. Bila dibandingkan dengan penghasilan pembudidaya ikan hias jauh lebih menjanjikan karena ikan hias tidak tergantung dengan usia masa panennya.
Selain itu, permintaan ikan hias disesuaikan dengan ukurannya serta bentuk tubuh yang diinginkan pembeli, sedangkan penjualannya tidak dihitung per kilogramnya tetapi per ekor. ”Ikan lele, ikan mas dijual dengan hitungan kilogram. Kalau ikan hias per ekornya dapat mencapai ratusan ribu rupiah,” terangnya.
Bila dilihat dari keuntungan, sambung Wagiso, ikan hias lebih menjanjikan. “Ikan hias dijual dengan harga yang telah disepakti. Jadi, salah besar kalau bank tak melirik pengusaha budidaya ikan hias yang sangat memberikan keuntungan besar,” pungkasnya sambil tersenyum.
Sumber : www.suaramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar